Wednesday, September 2, 2009

SASTRA KORAN

Di Gerbong Kereta

Cerpen Rama Dira J
Dimuat di Suara Pembaruan 08/30/2009

Stasiun kereta itu, di suatu siang milik bulan Juni, diliputi kesenyapan yang misterius. Hanya sedikit manusia yang tampak dan mereka ini, berjalan dengan gerak tubuh dan langkah tak bergairah. Ada seorang bocah penjual koran yang duduk terkantuk-kantuk di sampingku tanpa pernah menawarkan koran-koran jualannya. Seorang petugas kebersihan berbaring di sebuah bangku kayu sambil merokok. Ia pun tertidur beberapa saat kemudian dengan rokok yang tetap berbara di tangan dan sapu lidi dalam pelukan.

Panas yang ada, demikian keparatnya hingga tubuhku basah berpeluh dan suasana hatiku merunyam. Mulutku mengering, setandus padang gurun. Sialnya, tak ada orang yang berjualan minuman.

Apa aku terkurung di dalam mimpi? Rasa-rasanya tak mungkin juga sebab luka nyeri di sikutku masih mengeluarkan darah sehabis menghantam besi pegangan waktu berdesakan turun dari bus kota yang membawaku ke stasiun ini. Meski bukan dalam mimpi, dunia yang menjebakku kini, terasa tak lebih baik dari mimpi buruk siang hari.

Menunggu kereta dalam keadaan seperti ini telah menjadi siksaan yang bisa saja membuatku mati berdiri. Waktupun bersekongkol dengan semesta, mempermainkanku. Kini, waktu terasa begitu lamban, seolah-olah tak beranjak sedikit pun. Kini, kuanggap jam antik peninggalan Belanda yang terpampang di atas loket pembelian tiket itu sebagai makhluk aneh yang setiap detik demi detiknya menjelma tawa-tawa yang merayakan dengan penuh sukacita nasibku yang mengenaskan.

Di ujung penantian yang terasa panjang, dari arah timur, muncul kereta api Gundala Putra Petir, dalam gerak lamban disertai siulan melengking menyayat-nyayat hati. Adakah lengkingan kepedihan itu berhubungan dengan usia lokomotifnya yang sudah sekarat?

Kereta tua jurusan Kota M - Kota L itulah yang kutunggu-tunggu. Ketika telah berhenti sempurna, hanya satu dua penumpang yang melompat keluar dari dalamnya. Aku bergegas melompat masuk, meninggalkan suasana yang nyaris menyihirku menjadi sesosok manusia yang mati berdiri ala nabi, tapi bukan nabi sebab kalau pun itu terjadi aku tetaplah manusia biasa yang lenyap dari sejarah hidup sendiri tanpa sempat meninggalkan jejak-jejak yang patut dikenang.

Keadaan seperti dalam mimpi buruk itu telah pula merasuk hingga ke dalam gerbong kereta. Di sini, hampir tak ada denyut kehidupan dan tak kulihat keberadaan manusia lain di gerbong yang kupilih ini. Aku kembali seperti satu-satunya makhluk yang tersisa di dunia dimana penghuninya sudah punah.

Sadar akan adanya kenyataan tak banyak manusia yang menunggu kedatangan kereta ini, masinis segera memberangkatkannya. Mulailah si kereta tua beranjak meninggalkan stasiun di kota kecil, dalam suatu irama pelan yang secara bertahap berubah cepat, kemudian melanjut mantap.

Aku menyaksikan tiang-tiang di peron seperti bergerak ke belakang. Setelah itu, hamparan persawahan juga terhempas ke belakang, batang-batang tebu lenyap ke belakang. Juga candi-candi dengan latar perbukitan, kemudian deretan rumah-rumah kecil berkapur putih, beratap genteng. Semuanya bergerak ke belakang, terhempas, terkurung dalam detik demi detik yang telah menjadi bagian dari masa lalu. Andai saja perasaanku bisa seperti itu, terhempas ke belakang, terkurung dalam masa lalu, tentu tak ada kerunyaman yang teramat.

Suasana aneh yang terus menerorku sedari tadi pecah begitu saja ketika kulihat seorang gadis berdandan menor, memakai baju kaus ketat yang tak menutup pusat, rok mini di atas lutut serta sepatu kulit sampai di lutut. Ia berjalan dari arah gerbong belakang, menuju ke arahku dan berhenti di dekatku untuk kemudian duduk dengan menyilangkan paha kanannya di atas paha kiri, di kupe yang ada di hadapanku. Meski sudah terbiasa berurusan dengan perempuan seperti ini, sempat juga aku disinggapi keterkejutan.

"Saya merasa aneh duduk sendirian di gerbong sebelah." Ia menjelaskan alasan mengapa ingin duduk berkawan. Dari bahasa tubuhnya, tampak jelas jikalau perempuan ini agresif. Bermandikan parfum murahan yang begitu menyengat, ia tampil percaya diri dan tak canggung mendekat pada seorang laki-laki yang belum ia kenal sama sekali. Dengan demikian, aku sudah bisa menebak penampilannya yang demikian, sangat berhubungan dengan profesinya.

"Siang yang sepi," komentarnya tiba-tiba sambil mengembuskan asap rokok keretek yang barusan ia nyalakan.

"Kau juga merasakannya?" kutanya ia.

"Ya, sepi karena tak banyak laki-laki yang kutemui. Hanya ada satu dua. Itu pun tak ada yang peduli dengan tawaranku yang seharusnya tak bisa mereka tolak. Mulai dari alun-alun sampai stasiun, itu yang terjadi. Makanya aku ikut kereta ini ke kota sebelah buat mencari laki-laki lain. Tahu 'kan maksudku?"

Aku hanya mengangguk beberapa kali, tak langsung menanggapinya dengan perkataan. Sesungguhnya, aku bukannya tak paham jika ia sengaja melontarkan itu dalam upaya memancingku menggunakan jasanya. Aku memang tak asing dengan situasi seperti ini. Aku sering memakai jasa gadis seperti ini. Jujur kukatakan, memang sudah lama aku tak menyentuh perempuan. Kira- kira empat bulan. Ini terjadi karena pekerjaanku telah menyita hampir semua waktu dan pikiranku akhir-akhir ini.

Dengan demikian, perempuan ini hadir pada saat yang tepat sebenarnya. Selain butuh hiburan untuk menghalau tekanan batin yang kualami dalam minggu-minggu ini, rangkaian suasana aneh beberapa waktu tadi juga memerlukan sesuatu yang menyegarkan. Dan tampaknya, perempuan belia ini siap menghadirkannya untukku.

Kuperhatikan benar, meski penampilannya tak lebih bagus dari gadis-gadis dalam profesi yang sama, gadis ini memiliki daya tarik tersendiri. Selain berbodi bagus, ia juga lumayan cantik, meski make up-nya berlebihan. Ia pun memiliki senyuman yang menegaskan kalau ia bisa mendatangkan kesejukan pada lelaki mana saja. Gara-gara ini, mendadak perasaan suntuk dan runyamku jadi hilang.

"Kau bisa menemaniku nanti?" tanyaku.

"Tentu" jawabnya.

"Baiklah. Nanti sampai di kota sebelah, kau ikut saja ke rumahku. Aku minta kau temani selama dua hari. Bagaimana?"

"Okelah. Tapi kalau memang kau tak sabar lagi, kita bisa memulainya di kereta ini. Aku mengenal kondekturnya. Ia tak akan mempermasalahkan jika kita bercinta di toilet kereta ini."

Aku hanya menggeleng lantas tertawa kecil menanggapi ide gilanya itu.

"Ah, tidak. Aku masih bisa menahan."

"Sumpah! Aku sudah biasa melakukannya di kereta ini."

"Aku yang tidak biasa."

"Ayolah. Kau akan menikmatinya."

"Tidak.Tidak. Nanti saja. Di rumahku."

"Okelah."

Akhirnya, dia menyerah. Aku jadi bertanya-tanya sendiri, mengapa ia begitu bernafsu mengajakku bercinta di dalam kereta ini? Apakah pekerjaannya itu telah menyulapnya menjadi perempuan penggila seks?

Tak seperti biasanya, kini, meski perjalanan kereta sudah jauh, tak muncul-muncul kondektur yang biasanya memeriksa tiket penumpang. Mungkin karena kereta ini hanya berisi sedikit penumpang, ia jadi bermurah hati untuk tidak memedulikan apakah ada penumpang yang tidak memiliki tiket, sebab hal tersebut tak terlalu berpengaruh pada permasukan mereka.

Kini, kehadiran si menor menyadarkanku bahwa kiamat masih jauh. Di siang keparat ini ternyata aku bisa bertemu dengannya, sebagai pembawa kece-riaan yang sanggup melenyapkan segala macam beban dan perasaan yang bisa saja membunuhku secara mendadak.

Ia menanyai keperluanku mengunjungi kota ini setelah mengetahui aku tinggal di kota sebelah.

"Aku mengurusi orang miskin."

"Memangnya Anda orang kaya? Kok pake ngurusin orang miskin segala?"

"Aku bekerja di sebuah LSM yang konsen memperjuangkan nasib orang miskin di dua kota. Karena itu, aku harus bolak-balik antara Kota M dan Kota L."

"Oh, begitu..."

Kami masih berbincang kala kereta melambat untuk kemudian berhenti di salah satu stasiun yang lebih kecil lagi dibanding stasiun sebelumnya. Sama seperti stasiun sebelumnya, stasiun ini juga sepi. Hanya ada seorang bocah penjual air mineral yang naik. Karena masih haus, langsung saja kupanggil bocah itu. Ia memberikan botol air mineral seukuran satu liter padaku. Ketika tanganku tak menemukan dompet di saku belakang jinsku, aku mulai panik.

"Sial!" Aku menyerapah. Sepertinya, ada yang mencopet dompetku dalam bus.

Tanpa kuminta, si gadis menor sudah menyodorkan bayaran kepada si bocah penjual air mineral. Ia menyelamatkanku untuk kedua kalinya siang ini.

"Terima kasih."

"Santai saja."

Stasiun yang berdiri senyap itu terhempas ke belakang dan aku sudah tak memusingkan dompetku yang hilang tadi. Dalam interaksi intens selanjutnya, suasana yang menyenangkan antara kami membuatku menyadari bahwa keberadaan gadis ini membuatku berdebar. Tiba-tiba saja ada keinginan untuk segera sampai di rumah dan bercinta dengannya. Keinginan yang mendadak menyerangku ini membuatku mempertimbangkan kembali ajakannya bercinta di dalam toilet kereta ini. Pikiran kotorku terus mengalir dan terhenti kala kereta berhenti lagi di stasiun kecil lainnya.

Awalnya, seperti dua stasiun sebelumnya, stasiun yang satu ini juga sepi. Namun, hanya dalam hitungan detik semata, tiba-tiba saja peron stasiun sudah penuh dengan manusia yang datang dari pintu masuk, seolah baru dimuntahkan begitu saja dari mulut naga. Rombongan itu langsung masuk ke dalam gerbong. Dan anehnya, ada seorang perempuan tua berambut gimbal yang tiba-tiba memintaku pindah ke lain tempat. Ia ingin duduk di samping si gadis.

Perempuan tua berambut gimbal itu mengatakan dengan suara yang begitu kerasnya pada si gadis bahwa kecuali dia, para penumpang yang baru saja naik tadi adalah lelaki semua. Katanya lagi, ia trauma duduk di samping lelaki, sebab sudah sering kali ternyata laki-laki yang di sampingnya adalah pencopet. Mendengar itu, si menor tersenyum sambil melirik memberi tanda padaku dan aku akhirnya mengalah dengan berpindah ke kupe yang lain. Diam-diam aku berpikir, mengapa perempuan tua itu begitu tega mencurigaiku juga sebagai tukang copet, padahal aku sendiri baru saja kecopetan.

Kereta kembali berjalan. Aku tak lagi bisa berbincang dengan si gadis menorku. Dan rencanaku untuk mengajaknya masuk ke toilet tak bisa terwujudkan karena perempuan tua itu terus saja bercerita padanya dengan suara yang teramat bising.

Kereta terus melaju dalam iringan omelan membosankan milik perempuan tua itu. Mendadak, suasana itu mendatangkan rasa kantuk yang begitu hebat pada mata kanan kiriku. Beberapa saat kemudian, kereta masuk dalam terowongan gelap yang sangat, sangat panjang. Dan, pada detik yang tak kuingat, aku jatuh tertidur dalam nyenyak yang juga terasa sangat, sangat panjang.

Susah payah, aku berusaha mengutuhkan kesadaran setelah sebuah tangan menggoyang-goyang halus pundakku. Suara mudanya mengutuh sedikit demi sedikit. "Pak Tua, bangun. Semua penumpang sudah turun."

Aku menggosok-gosok mata dengan punggung tanganku. Ternyata, dia gadis belia dengan dandanan menor. Apakah dia temanku bercakap-cakap dalam perjalanan tadi? Tapi, mengapa ia memanggilku dengan panggilan Pak Tua? Ataukah ia gadis lain dalam waktu yang lain? Sudah berapa lamakah aku tertidur? Entahlah. Aku sudah payah dengan hitungan dan ingatan.

Gadis menor itu sudah melompat ke luar melalui pintu gerbong. Susah payah, aku berusaha bangkit. Dengan tongkat di tangan kiri, aku menuruni tangga gerbong, melangkah perlahan, melintasi peron, pelataran parkir stasiun, terus berjalan terbungkuk-bungkuk ke halte jalan raya guna menunggu bus yang akan membawaku pulang ke panti jompo, di ujung kota.***

Tarakan, 31 Juni 2009